WONOSOBO — Wayang merupakan seni pertunjukan yang telah ada sejak zaman kerajaan Hindu-Buddha. Saat ini, seni yang kaya tradisi ini masih dapat ditemukan dalam beberapa acara, meskipun jumlahnya tergolong sedikit. Selain sebagai sarana hiburan, pertunjukan wayang juga membawa pesan moral kehidupan bagi para penontonnya.
Seiring berjalannya waktu, keberadaan kesenian wayang di Nusantara semakin jarang ditemui. Namun, ada yang berusaha mempertahankan tradisi tersebut, salah satunya adalah Wayang Othok Obrol. Kini, seni wayang ini resmi diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi.
Menurut warisanbudaya.kemdikbud.go.id, Wayang Othok Obrol berasal dari dialek bahasa Jawa, yaitu dari frasa ‘uthuk ubrul’. Frasa ini sering digunakan untuk menggambarkan keadaan yang terkesan seadanya atau improvisasi, dengan makna kesederhanaan yang lebih elok.
Berdasarkan buku Deskripsi Kesenian Wayang Obrol dari Paguyuban Penilik Kebudayaan Kabupaten Wonosobo, kesenian ini mulai berkembang sejak era Sultan Agung di Mataram, dengan dalang Ki Ganda Wiradipa dari Traji (Parakan, Temanggung) sebagai tokohnya. Menurut cerita turun-temurun, peraga wayang ini lahir secara ajaib di hadapan Sultan Agung di Mataram ketika Ki Ganda Wiradipa memukul kulit perkamen dengan tongkat gadingnya. Kulit perkamen itu pecah dan berubah menjadi sekotak peraga wayang (130 buah), yang diyakini menjadi dasar bentuk wayang dalam kesenian Othok Obrol, yaitu wayang Kedu.
Sebagai varian gaya Kedu Wanasaban, iringan Wayang Othok Obrol memiliki ciri gendhing bergaya Kedu, dengan saron yang dimainkan bersahutan satu sama lain. Selain itu, denting kepraknya juga beradu dengan instrumen bernama kencer, menciptakan iringan gamelan yang ramai dan gagah. Perpaduan antara wayang kulit dan keahlian penabuhnya melahirkan Othok Obrol, genre yang terkesan kurang serius namun tetap nikmat dalam keterbatasannya.
Seperti Wayang Purwa, Wayang Othok Obrol juga mempertunjukkan kisah dari Mahabarata dan Ramayana, serta beberapa lakon carangan seperti Murti Serat, Semar Supit, hingga Semar Cukur. Salah satu tokoh khas Wayang Othok Obrol adalah Puthut Megajendra, murid dari Begawan Abiyasa (kakek para Pandhawa), yang divisualisasikan menggunakan peraga wayang Gathutkaca (putra Bima).
Dengan lakon yang merakyat, ringan, namun sarat makna, Wayang Othok Obrol pernah sangat populer di Wonosobo. Terlebih lagi, biaya operasionalnya cukup terjangkau karena hanya membutuhkan satu dalang dan delapan niyaga tanpa sinden.