Dua PM Dunia Kompak Mundur, Mengapa Pejabat Indonesia Sulit Lepas Jabatan Meski Didesak Publik?

Pejabat Indonesia

Dua pemimpin dunia kompak mundur dari jabatannya. Perdana Menteri (PM) Jepang Shigeru Ishiba dan PM Inggris Angela Rayner sama-sama memilih angkat kaki dari kursi kekuasaan, meski dengan alasan berbeda.

Ishiba mengundurkan diri pada Minggu (7/9/2025) setelah mendapat tekanan berat dari partai koalisinya. Ia dianggap gagal meredam lonjakan biaya hidup di Jepang. Publik kehilangan kepercayaan, suara mayoritasnya di parlemen pun ambruk.

Sementara itu, Angela Rayner yang selain menjabat PM juga Menteri Perumahan Inggris, mundur setelah ketahuan kurang bayar pajak properti rumahnya di Hove, East Sussex. Keputusan itu disampaikannya sejak awal Agustus. Ia juga melepas posisinya sebagai wakil pemimpin Partai Buruh.

Kedua langkah itu menunjukkan standar etik yang berbeda dibandingkan dengan situasi di Indonesia. Di sini, pejabat yang tersandung masalah jarang mundur atas kemauan sendiri. Bahkan, mereka yang terbukti korup sekalipun sering bertahan hingga diberhentikan secara paksa oleh institusi.


Mengapa Pejabat Indonesia Sulit Mundur?

Menurut sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Drajat Tri Kartono, hal ini terkait dengan warisan budaya pangreh praja—sebutan bagi pejabat lokal pada masa kolonial Belanda. Mereka berfungsi sebagai pengatur daerah jajahan, sehingga terbentuk pandangan bahwa pejabat adalah pihak yang mengatur, bukan diatur.

“Kultur di kita itu pejabat merasa dirinya memang bertugas mengatur negara. Kalau terjadi kegagalan, biasanya mereka mencari alasan-alasan di tengah masyarakat,” jelas Drajat, Senin (8/9/2025).

Sikap enggan melepas jabatan, menurutnya, mencerminkan kecenderungan individualistis. Pejabat lebih sibuk membela tindakannya ketimbang menyadari dirinya sebagai wakil rakyat.


Kultur Mundur Sebenarnya Pernah Ada

Meski begitu, budaya mundur bukan hal asing di Indonesia. Sejarah mencatat, Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memilih mundur pada 2001 ketika situasi politik kian panas. Sebelumnya, Presiden Soeharto juga akhirnya lengser pada 1998 setelah 30 tahun berkuasa, didesak gelombang reformasi.

“Artinya, kultur mundur itu sebenarnya ada di Indonesia, bahkan sejak zaman kerajaan. Pangeran Benowo juga pernah mundur dari tahtanya,” kata Drajat.

Namun, keputusan mundur sering menjadi buah simalakama. Di satu sisi, biaya pemilu yang besar terasa sia-sia bila pejabat mundur di tengah jalan. Di sisi lain, membiarkan pejabat bermasalah tetap menjabat juga bukan langkah bijak.


Perlu Aturan dan Dewan Etik

Untuk mengatasi dilema ini, Drajat menilai pemerintah perlu memperketat prasyarat pemilu. Misalnya, adanya fakta integritas: bila kehilangan kepercayaan publik secara luas, pejabat harus siap mundur.

“Sayangnya, prasyarat itu belum ada,” ujarnya.

Selain itu, ia mengusulkan pembentukan dewan etik yang secara khusus membahas pelanggaran moral dan etika pejabat. Dengan begitu, ada mekanisme yang lebih jelas untuk menilai dan memutuskan apakah seorang pejabat masih layak menjabat atau harus melepas kursinya.

error: Content is protected !!