Purworejo – Karakter dan jati diri bangsa merupakan warisan berharga yang harus terus diingatkan kepada generasi penerus, terutama di tengah derasnya arus budaya asing yang berpotensi mengikis nilai-nilai lokal.
Rasa prihatin terhadap ancaman budaya asing, yang cenderung permisif, mendorong banyak praktisi budaya untuk bergerak dalam pelestarian sejarah dan tradisi leluhur. Salah satunya adalah Radityawan, warga Dukuh Kembaran, Desa Banyuurip, Kecamatan Banyuurip, Kabupaten Purworejo, yang berkomitmen untuk nguri-uri (melestarikan) sejarah dan cikal bakal leluhurnya.
Napak Tilas Sejarah Banyuurip
Berdasarkan referensi dari Buku Serat Babad Banyuurip, sejarah Banyuurip bermula dari kisah perjalanan Pangeran Joyo Kusumo bersama adiknya, Galuhwati (Nyai Putri), yang tiba di daerah tersebut dalam keadaan kehausan.
Pangeran Joyo Kusumo kemudian menancapkan wedung (pedang pendek) di sekitar daerah Sumur Mbeji, yang saat itu dikenal dengan nama Kiai Kuru Dalang. Dari situlah, muncul air bening yang terus mengalir dan menjadi sumber kehidupan warga Banyuurip.
Dalam Serat Babad Banyuurip, momen ini disebut dengan kalimat Cur Umijil Tirto Wening, yang memiliki makna “keluarnya air bening yang memancar”. Sengkalan (penanda tahun) ini merujuk pada Angka Tahun Saka:
🔹 Cur = 0
🔹 Umijil = 0
🔹 Tirto = 4
🔹 Wening = 1
Dengan membaca angka secara terbalik, maka dapat ditafsirkan bahwa peristiwa ini terjadi pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi, yang bertepatan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit (Sirno Ilang Kertaning Bumi).
“Saya buat tetenger (tanda) dari batu andesit bergambar pahatan jejak kaki kanan, serta tulisan huruf Kawi. Harapannya, ini bisa menjadi pengingat bagi generasi muda untuk memahami jati diri dan menghormati leluhur,” ujar Radityawan.
Pahatan kaki ini melambangkan perjalanan Pangeran Joyo Kusumo, yang menjadi bagian penting dari sejarah Banyuurip.
Melestarikan Budaya Lewat Paguyuban Macapatan
Selain menjaga sejarah melalui tetenger Sumur Mbeji, Paguyuban Macapatan Suryawisesa, yang dipimpin oleh Witoyo, juga aktif dalam melestarikan budaya leluhur.
Setiap Malam Minggu Kliwon, paguyuban ini melantunkan macapat dari Serat Babad Banyuurip di berbagai tempat secara bergilir. Beberapa pupuh (tembang) yang dinyanyikan meliputi:
🎵 Dandang Gulo
🎵 Asmarandana
🎵 Megatruh
🎵 Sinom
Setiap bait lagu kemudian diterjemahkan dan dijelaskan maknanya, agar pesan moralnya dapat dipahami oleh generasi muda.
“Kami ingin anak-anak muda memahami sejarah, bukan sekadar menghafal. Dengan memahami, mereka akan lebih mencintai dan menjaga budayanya sendiri,” kata Witoyo, Ketua Paguyuban Macapatan Suryawisesa.
Pembangunan Gapura Bergaya Majapahit
Sebagai bagian dari upaya pelestarian budaya, rencananya akan dibangun gapura di jalan menuju Sumur Mbeji, dengan desain khas arsitektur Majapahit.
Gapura ini akan dibuat menggunakan batu bata ekspos tanpa semen, yang menjadi ciri khas bangunan era Majapahit. Dengan adanya gapura ini, diharapkan Sumur Mbeji semakin dikenal sebagai situs bersejarah yang memiliki nilai spiritual bagi masyarakat Banyuurip.
Pelestarian Seni dan Warisan Budaya
Selain macapatan, komunitas budaya Banyuurip juga ingin menghidupkan kembali seni batik khas Banyuurip, yang dulu sempat eksis tetapi hilang ditelan zaman.
“Kami ingin membangkitkan kembali seni membatik khas Banyuurip, yang pernah berkembang namun kini nyaris punah. Ini juga bagian dari identitas budaya yang harus kita jaga,” ujar Radityawan.
Makna Sumur Mbeji bagi Warga Banyuurip
Menurut legenda, Sumur Mbeji memiliki air yang sangat jernih, bagaikan kaca. Saat pertama kali muncul, Galuhwati sangat gembira dan langsung mencuci diri serta meminum air tersebut.
Melihat kejadian ini, Pangeran Joyo Kusumo menamai sumur tersebut sebagai “Sumur Mbeji”, dan menetapkan daerah di sekitarnya sebagai Banyuurip, yang berarti “air kehidupan”.
Saat ini, air dari Sumur Mbeji tidak pernah kering, bahkan di musim kemarau panjang, yang semakin memperkuat makna spiritual dan sejarahnya bagi warga setempat.
Peresmian Prasasti di Sumur Mbeji
Sebagai puncak dari kegiatan nguri-uri sejarah, pada Sabtu (15/2/2025), komunitas budaya dan tokoh masyarakat bersama Pemerintah Desa Banyuurip berkumpul untuk memasang prasasti di Sumur Mbeji.
Setelah prosesi pemasangan prasasti, acara ditutup dengan jamuan makan bersama di rumah Radityawan, yang dikenal memiliki arsitektur khas seni Jawa. Beberapa hidangan tradisional yang disajikan meliputi:
🍽️ Gudhangan (sayur dengan telur rebus dan sambal kelapa)
🍗 Ingkung Ayam Kampung
🍜 Mie dengan aroma brambang goreng
🥔 Jangan Kenthang (sayur kentang khas Banyuurip)
🥜 Rempeyek Kacang
🍶 Teh tubruk khas Banyuurip
Kesimpulan
Upaya yang dilakukan oleh Radityawan dan Paguyuban Macapatan Suryawisesa menjadi contoh nyata dalam menjaga jati diri bangsa melalui pelestarian sejarah dan budaya lokal.
Dengan tetap menghormati dan memahami leluhur, generasi muda diharapkan tidak kehilangan identitas budaya mereka, meskipun dihadapkan dengan derasnya pengaruh globalisasi.
💡 Nguri-uri budaya, lestari sejarah, Banyuurip tetap jaya! 💡