PATI – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pati resmi membentuk Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran sumpah jabatan oleh Bupati Pati, Sudewo. Keputusan ini diambil setelah ribuan warga melakukan aksi demonstrasi massal mengepung Kantor Bupati Pati pada Rabu (13/8/2025).
Latar Belakang: Protes Massal dan Kontroversi Kebijakan
Aksi unjuk rasa dipicu oleh kebijakan kontroversial Bupati Sudewo, termasuk kenaikan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen dan perubahan hari sekolah. Meskipun beberapa kebijakan sudah dicabut, gelombang protes tak surut. Aliansi Masyarakat Pati Bersatu terus menuntut Sudewo mundur.
“Protes ini menunjukkan ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan yang dianggap merugikan,” kata Ketua DPRD Pati, Ali Badrudi, dalam rapat paripurna yang menghasilkan pembentukan Pansus.
Komposisi DPRD dan Alasan Hak Angket
DPRD Pati beranggotakan 50 orang dari delapan partai politik. PDI Perjuangan memimpin dengan 14 kursi, diikuti Partai Gerindra (6 kursi). Hak angket digulirkan karena DPRD menilai Sudewo melanggar sumpah dan janji jabatan serta memicu kegaduhan sosial.
“Kebijakan Bupati tidak hanya melanggar aturan, tapi juga memecah belah masyarakat. Hak angket adalah tanggapan DPRD terhadap keresahan publik,” ujar Anggota Fraksi Demokrat, Joni Kurnianto.
Apa Itu Hak Angket? Dasar Hukum dan Proses
Menurut Pasal 159 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, hak angket memberi wewenang DPRD kabupaten/kota menyelidiki kebijakan pemerintah daerah strategis yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Usulan hak angket disetujui jika dihadiri minimal 3/4 anggota DPRD, dengan persetujuan 2/3 anggota yang hadir. Setelah disetujui, DPRD membentuk Pansus yang beranggotakan semua fraksi.
Pansus memiliki kewenangan memanggil pejabat, badan hukum, atau warga sebagai saksi, bahkan memaksa dengan bantuan kepolisian jika panggilan diabaikan.
Proses Pemakzulan Kepala Daerah
Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 mengatur kepala daerah dapat diberhentikan jika:
- Melanggar sumpah/janji jabatan
- Membuat kebijakan merugikan kepentingan umum
- Melanggar larangan dalam Pasal 76 UU Pemda
Prosesnya dimulai dari DPRD yang mengusulkan pemberhentian, lalu diajukan ke Mahkamah Agung (MA) untuk diuji. MA memiliki batas waktu 30 hari untuk memutuskan. Jika MA mengabulkan, DPRD menggelar paripurna pemakzulan dan mengajukannya ke Presiden melalui Kementerian Dalam Negeri.
“Guru Besar IPDN, Djohermansyah Djohan, menekankan bahwa kebijakan yang meresahkan masyarakat bisa menjadi dasar pemakzulan. Kepala daerah tidak boleh membuat kebijakan yang menimbulkan keresahan publik.”
Pansus Bergerak, Sudewo Tetap Bertahan
Ketua Pansus Pemakzulan, Teguh Bandang Waluyo, mengumumkan rapat perdana digelar Kamis (14/8/2025) secara terbuka. Agenda pertama membahas pengisian jabatan Direktur RSUD RAA Soewondo Pati yang dinilai tidak sah, serta pemutusan hubungan kerja hampir 200 tenaga honorer rumah sakit tersebut.
“Jika terbukti bersalah, Sudewo bisa dimakzulkan. Pansus akan bekerja transparan dan semua prosesnya terbuka untuk publik,” ujar Bandang.
Sudewo sendiri menghormati hak angket DPRD namun menegaskan tidak akan mundur. “Saya dipilih rakyat secara konstitusional. Tidak bisa mundur hanya karena tuntutan. Semua ada mekanismenya,” tegasnya kepada wartawan.
Analisis Politik: Legitimasi Kepala Daerah Teruji
Pengamat Politik Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Ahmad Sabiq, menilai fenomena di Pati mencerminkan penurunan legitimasi politik seorang kepala daerah ketika kebijakan publik dianggap tidak berpihak pada masyarakat.
“Fenomena demo besar di Pati menunjukkan menurunnya legitimasi politik kepala daerah ketika kebijakan dianggap merugikan warga,” ujarnya.
Dengan pembentukan Pansus Hak Angket, tekanan publik terhadap Bupati Sudewo semakin intens. Selanjutnya, hasil investigasi Pansus akan menjadi tolak ukur apakah proses pemakzulan akan dilanjutkan menuju tahap berikutnya.